L A K I U S P E Y O N
Pemilu system noken hanya berlaku di daerah Pegunungan
Tengah Papua. Keabsahan system ini banyak dipersoalkan. Mulai dari cerita di
jalanan, di media massa hingga di pengadilan. Saat ini hangat dibicarakan di
Mahkama Konstitusi.Padahal, masalah sesungguhnya bukan terletak pada system noken
tetapi masalah sesungguhnya adalah Daftar Pemilih Tetap Fiktif (DPTF).
Mengapa masalahnya ada di DPTF, bukan system noken ?
Noken cuma sarana, sama artinya dengan
kotak suara. Sama dengan karton. Ia Cuma benda mati. Benda yang di atur oleh
manusia. Tempat isi surat suara.
Saya melihat penyelenggara termasuk menyembunyikan
masalah sesungguhnya yaitu masalah DPT Fiktif. Mereka menjadikan masalah sistim
noken sebagai tameng untuk menyembunyikan kejahatan demokrasi yang dilakukan
secara massif, sistemik dan meluas ini.
Cara pemilihan di Pegunungan Tengah Papua bukan hanya
system noken tapi ada tiga system pemilu yang dipraktekan di sini yaitu system
noken, sistem ikat dan system buka-tutup. Sistem noken adalah di mana setiap
saksi calon atau saksi partai berdiri di TPS masing-masing dengan nokennya.
Kemudian pemilih setelah ambil surat
suara lalu memasukannya di noken
yang hendak ia pilih.
Sistem ikat adalah saat hendak melakukan pemilihan
seorang kepala suku atau atas kesepakatan tokoh setempat di TPS itu memutuskan
suara diberikan sepenuhnya kepada calon
yang mereka kehendaki.
Sedangkan untuk system buka tutup adalah sebelum hari
pemilu, sudah ada kesepakatan warga untuk suara seutuhnya diberikan kepada satu
calon atau partai. Jadi pada hari pelaksanaan pemilu, warga melakukan acara
pembukaan lalu tutup kembali tanpa pemilihan karena sudah diputuskan
sebelumnya.
Semua system ini bertujuan untuk menggelabui jejak DPTF
tadi. Misalnya, pemilih sesungguhnya sesuai dengan jumlah orang secara pasti di salah satu TPS 100 orang tapi jumlah DPT di atas kertas mencapai 500 pemilih. Dengan demikian, masih
ada suara lebih atau DPTF sekitar 400 pemilih setelah 100 orang itu memilih..
Jumlah suara ini sangat besar. Makanya dengan menggunakan
tiga system tadi, tentu saja tidak ada
jejak 400 suara tadi sebagai suara fiktif. Itu sebabnya, di Pegunungan Tengah Papua
setiap berita acara dinyatakan seratus persen suara sah terpakai, tidak ada
yang rusak, tidak ada pemilih yang
tidak memilih.
Keputusan atas suara fiktif atau tidak bertuan ini bisa dipengaruhi oleh
ancaman kepala daerah, uang, intervensi penyelenggara, dipengaruhi oleh balas
jasa atas pembangunan yang dilakukan juga murni untuk mengantar orang asli di
sini untuk duduk di legilatif .
Kasus DPTF di Pegunungan Tengah Papua ini sudah kacau
balau. Mau mulai dari mana dan berakhir di mana. Siapa yang memulai dan siapa
yang mengakhiri. Mau mengakui, malu. Mau biarkan, akan jadi bom waktu. Mau
kembalikan ke data penduduk asli, bahaya bisa memicu konflik.
Mengengembalikan data penduduk sesuai dengan jumlah
manusia yang ada maka konsekwensinya konflik. Ketika pendataan penduduk ulang
dan ternyata jumlah penduduk pastinya tidak sama dengan jumlah penduduk di atas
kertas, maka yang pertama rencana pemekaran kabupaten baru tidak bisa terjadi.
Dana APBN bisa mengalami penurunan.
Banyak Distrik dan kampung digabungkan karena tidak memenuhi syarat jumlah penduduknya.
Banyak pihak sangat mengetahui bahwa DPT di Pegunungan
Tengah ini sebagian besarnya adalah data fiktif tapi pemerintah dan
penyelenggara tidak mau membuka dan mengakui. Semua diam. Semua bisu. Seakan
tidak ada lagi orang jujur di sini. Semua mengiayakan. Semua mengaminkan. Semua
menyetujui.
Bupati diam. DPRD tidak mau bicara. Eksekutif pura-pura
tidak tahu. KPUD dan Panwas senang mengamankan data fiktif. Kepala kampung,
kepala distrik, PPD dan KPPS rajin “manusiakan hewan dan tumbuhan”. Kita sepertinya
bangga dengan kejahatan demokrasi ini.
Kenaikan jumlah DPTF berawal dari kenaikan jumlah
penduduk fiktif. Kenaikan Jumlah penduduk fiktif dipicu oleh beberapa kepentingan, Di antaranya,
kepentingan politik, kepentingan pemekaran wilayah juga katanya untuk
meningkatkan APBD dan berbagai kepentingan lain.
Pertumbuhan penduduk dan DPT di Pegunungan Tengah adalah
sangat besar. Bayangkan tahun 1999 penduduk Jayawijaya sebelum pemekaran baru
200 an ribu pemilih. Sepuluh tahun setelah mekarkan 7 kabupaten baru, bukan
mengalami penurunan karena penduduknya terbagi ke tujuh kabupaten baru tetapi
justru mengalami pertumbuhan penduduk mencapai 1.113.061 pemilih pileg 2014 (http://data.kpu.go.id/dptA6.php). Jumlah ini belum termasuk dengan Kabupaten Puncak
Jaya, Puncak, Paniai, Intan Jaya, Dogiay dan Deiyai yang merupakan kawasan
Pegunungan Tengah Papua.
Saya sesungguhnya mau menyembuyikan cerita ini. Tapi saya
tidak mau mewariskan pembohongan besar yang melibatkan sebagian besar
pemimpin Papua ini kepada generasi
berikut. Juga saya tidak mau hal ini menjadi bom waktu yang akan menghancurkan
masyarakat yang selama ini saya wakili mereka. Saya sungguh malu ketika ikut
mengaminkan, ikut menyetujui, ikut mengamankan pembohongan dan kejahatan
demokrasi ini.
Peningkatan jumlah
penduduk fiktif adalah sumber kejahatan sesungguhnya. Untuk merebut DPT Fiktif
banyak nyawa sudah melayang, banyak harta sudah habis. Mari kita akhiri.***